Langsung ke konten utama

Paket dari Syurga

"Sudah berapa lama kau hidup?"
"Delapan belas tahun mungkin."
Aku hanya menjawab asal ketika Nino bertanya tentang umurku. Tapi tidak ada kebohongan dalam ucapanku yang tidak meyakinkan itu. Nino hanya memasang wajah kesal mendengar ucapanku lalu kembali melanjutkan ke kepo-annya bertanya ini itu.
"Dan selama itu kamu gak pernah dapat hadiah dari orang tuamu untuk prestasi belajarmu?"
Aku terdiam sejenak mengingat masa-masa SD dan SMP, tepatnya hanya masa dimanaa aku pulang membawa raport yang aku pun tidak begitu yakin tentang warna sampulnya, hanya berpikir asal saja, merah untuk raport SD dan biru untuk raport SMP. Saat itu, aku adalah siswa yang teladan. Hanya sekali-dua kali tidak menempati urutan teratas di kelas. Selalu membanggakan keluargaku dengan nilai-nilaiku, tapi ini menurut orang lain. Sebenarnya, tidak ada yang bisa dibanggakan dari nilai-nilaiku, toh keenam kakakku juga memiliki nilai yang sebaik diriku bahkan kakak perempuanku jauh lebih baik karena nilainya selalu stabil di peringkat teratas.


Kali ini aku yakin sekali aku sedang serius dan tidak ngasal dengan ingatanku. Tidak ada kado setiap akhir semester meskipun aku sedang menginginkan sesuatu seperti yang diterima teman lainnya karena tidak ada nilai merah di raportnya atau hanya karena tidak tinggal kelas meski nilai merah mereka segudang!  Tidak ada keberanian untuk meminta karena aku takut ibuku menjadi sedih karena dia tidak dapat memberikan apa yang diinginkan anaknya, atau karena ketakutanku yang lain. Aku takut kakak ku marah besar karena aku hanya dianggap akan membebani pikiran ayah dan ibu saja. Entah lah! Toh, aku pun sudah lupa daftar hadiah-hadiah yang ku inginkan dulu. Ini kalimat dustaku ketika orang lain mengungkit topik ini. Sejujurnya aku masih ingat hadiah apa yang ku inginkan karena jangankan untuk meminta, untuk sekedar ingin pun aku tak berani sering-sering. Hanya sekali-dua kali aku berani menginginkan sesuatu, toh pada akhirnya aku tak pernah memiliki yang ku inginkan. Sebuah doktrin yang buruk untuk diri sendiri!

Aku mendoktrin diriku seperti itu sampai suatu hari yang indah, benar-benar indah (kali ini juga aku tidak ngasal) aku menyadari bahwa aku hanya melakukan hal bodoh untuk diriku bertahun-tahun lamanya. Aku menyadari bahkan kakak perempuanku harus mengajar les private di malam hari, sedangkan kakak laki-laki ku sibuk membantu menyelesaikan pekerjaan ayah dan ada yang sibuk ikut kegiatan bongkar muat barang di gudang minuman dekat rumah meski ibu selalu marah kalau mengetahuinya. Mereka melakukan semua itu agar bulan depan, ketika masa penagihan SPP aku sama seperti temanku yang lainnya, sama-sama mampu melunasi uang SPP.

Aku ingat, kakak perempuanku lah yang selalu memberiku uang dan kartu SPP (karena biasanya dia yang menyimpannya) ketika masa pelunasan SPP tiba dan kakak laki-lakiku yang selalu menyisihkan setarus atau dua ratus rupaih dari hasil bongkar muatnya untuk sekedar membelikanku coklat atau kolak dingin kesukaanku sedang sisa uangnya digunakan untuk membeli keperluan sekolahnya seperti pena yang tak jarang juga ku curi dengan ijinnya (?)

Benar, aku tidak pernah menerima hadiah saat raportku penuh dengan angka delapan dan sembilan. Aku tidak pernah menerima hadiah saat dinyatakan naik kelas atau lulus memasuki SMP dan SMA negeri. Semuanya benar. Tapi aku lah orang paling beruntung sedunia karena aku mendapatkan hadiah tak hanya sekali enam bulan tapi setiap hari dari keluargaku. Hadiah ditengah sulitnya kehidupan kami, hadiah dari terkorbannya waktu istirahat untuk kakak perempuanku yang kecil, hadiah dari keringat kakak laki-lakiku yang tak jarang setiap malam aku harus mengurut tangan atau kakinya meski aku tau tak ada efek yang diberikan tangan kecilku ketika mengurutnya, hanya saja dia memberiku senyumnya dan itu merasa membuatku berarti meski aku salah satu penyebab kelelahannya itu.

Dan hadiah dari Ayah dan Ibuku? Pasti pertanyaan itu muncul karena aku hanya menyebut kakak-kakakku saja sedari tadi. Ibuku, baru sekarang ku sadari kalau ibu selalu mencari bahan makanan yang terbaik untuk dimasak. Apa hebatnya? Semua ibu juga melakukan itu! Tapi ibuku berbeda, di tengah sedikitnya uang belanja yang dia miliki dia mengalahkan rasa lelahnya berkeliling pasar untuk mencari bahan makanan dengan kualitas baik dan harga murah, tak jarang telapak tangannya kepanasan karena terkena dengan cairan cabai yang berasal yang sudah lembek karena dia harus memilih cabai yang masih bagus ditumpukan cabai yang hampir rusak. Aku tau semua ini, aku lah saksi kegigihan ibu ketika berbelanja karena aku sering menemaninya bebelanja meski kadang aku merasa malu karena ibu dimaki pedagang karena menawar dengan harga terlalu murah. Ibu selalu memperhatikan makanan yang kami makan karena menurutnya meski bukan makanan mewah kami harus makan makanan bergizi.

Dan ayahku.. orang akan melihatnya sebagai ayah yang diam. Tapi ditengah diamnya, dia selalu memberiku hadiah yang luar biasa. Ini terjadi ketika aku libur semester pertama sebagai mahasiswa. Aku memberitahu kabar gembira ini kepada ibuku. Meski lagi-lagi ku pikir ini adalah hal biasa dalam keluaga kami. Ku kabarkan bahwa indeks prestasi ku adalah yang terbaik di kelas, nyaris sempurna hanya kurang 0,1 saja untuk sampai ke nilai maksimal. Saat itu ibuku sedang di dapur, memasak dan ayah baru saja turun dari loteng selesai menunaikan sholat Zuhur sepertinya. Ibu menyampaikan berita ini ke ayah.
"Yah, ada yang dapat IP terbaik lho. Hampir 4!" 
Ibuku semangat menceritakannya.
"Ayah gak ngasih hadiah?"
Demi Allah, itu bukan pertanyaan yang keluar dari mulutku melainkan dari ibuku. Hadiah? Sudah lama aku tidak pernah memikirkannya. Aku hanya tersenyum dan sedikit penasaran dengan jawaban ayah. Aku tak pernah membayangkan kalimat ini akan keluar dari lisan ayahku, kalimat yang menyadarkanku tentang hadiah-hadiah yang setiap harinya ternyata ku terima dari keluargaku. Kalimat luar biasa dari ayahku, bukan karena keindahan kalimatnya, tapi karena kejujuran dan kecintaan ayahku padaku yang selama ini tak kusadari. Hadiah terhebat dalam hidupku, mengalahkan Fortuner yang akan dihadiahkan ayah temanku kalau saja dia tidak mendapat Surat Panggilan lagi dari kampus karena nilainya buruk, melebihi tiket liburan ke Bali yang diterima temanku ketika nilai semesternya tidak turun. 
"Ayah tidak punya uang untuk membeli hadiah, ayah cuma bisa kasih doa sebagai hadiah. Tadi barusan ayah doakan."
Aku tersenyum syukur. Betapa indahnya hidup ku karena Allah memilihkan seorang ayah terbaik di dunia untuk ku. 

Sama seperti saat mendengar ayah mengucapkan kalimat itu, air mataku pun menitik setiap kali aku mengingat hadiah hebat ayahku. Nino menyenggol pundakku pelan bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku tersenyum.
"Aku dapat hadiahku setiap hari, kok. Se-ti-ap ha-ri. Ingat itu! Suatu saat akan ku ceritakan hadiah-hadiah yang kuterima. kau pasti akan cemburu." 
Aku menjulurkan lidahku meledek Nino dan berlari meninggalkannya yang kesal karena dari tadi aku tidak pernah menunjukkan keseriusanku menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Komentar

  1. waaahh.. bagus mbak ceritanya... ntar giliran mbak kasih hadiah buat kk, ibu sm ayahnya mbak... :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Review] The Path of Tears : Sebuah Karya Dita Safitri

Assalamualaikum.. Hai hai.. Happy-body how are you? Kalau aku lagi baik-baik aja seperti biasa dan sedang berbahagia karena cuaca Medan hari ini bersahabat.  Kali ini aku mau review novel karya teman aku dong. Bangga Jadi sebenarnya novel ini udah lama ada di aku sekitar tahun 2013 tapi baru terpikir mau ngulasnya hari ini. Teman macam apa kamu Pit?  

25 Lessons I’ve Learned at My 25

Page 6 of 365 Aku sempat  blog-walking  beberapa hari yang lalu dan ketemu blognya  Hey! Pipit . Setelah membaca beberap postingannya, aku terinspirasi untuk menuliskan tema yang sama dengan salah satu postingan Pipit yaitu 25 Things That I Learned at 25. Hai Pit, nama kita sama lho. Hehe.

[Review] Jodohku Maunya Sih Kamu

Assalamualaikum.. Hai hai.. aku kembali setelah dua hari gak update . Kali ini aku review buku yang jadi kesukaan aku soal jodoh. #dasar jomblo Pernah galau soal jodoh? Terus merenung dengan berbagi berbagai macam pikiran yang muter-muter di kepala. Pengennya sih sama si dia tapi kayaknya gak bakal bahagia deh kalau sama dia. Atau si dia   baik sih tapi not my style, deh . Hi-five yok, kalo ternyata kamu pernah mikir gitu. Padahal si dia belum tentu sor sama awak, ya kan? :D Setelah hi-five aku bakal ngajak kamu untuk baca sebuah buku yang membahas persoalan jodoh. Buku ini luar biasa berfaedah yaas buat para jomblo yang mempunyai iktikad baik untuk membentuk sebuah keluarga skinah, mawaddah, wa rahmah. Ya, kalau yang belum ada niatan begitu juga bebas kok baca buku ini. Siapa tau setelah baca buku ini jadi ingin menyudahi masa jomblo dan seketika menjadi pejuang jodoh yang dirahmati Allah.  Oh iya, jangan tanya harga bukunya sama aku. For your information, la